SEPORSI DOA RANI
(Karya Gyan Pramesty Gunawan)
Masa sekolah bukan melulu tentang dinamika dunia remaja, setidaknya
untuk Rani, masa sekolah adalah masa dimana Ia harus menyatu bersama kepenatan,
mencari gemerincing rupiah yang akan meringankan gelembung beban di pundak sang
Emak. Lembaran putih catatan takdirnya, dihiasi oleh noktah kecoklatan yang
terbentuk oleh peluh, dan terfermentasi oleh keadaan.
“ bulan depan ujian akhir, kalian Bapak panggil ke kantor karena kalian
sudah ‘nunggak SPP selama 3 bulan. Kalo sampai bulan depan kalian tidak melunasinya,
terpaksa Bapak tidak mengijinkan kalian ikut UAS.”
Sengatan listrik ribuan volt mengalir membekukan jantung Rani.
Membuatnya berhenti bergerak untuk sepersekian detik kemudian bergerak kembali
dalam bentuk dentuman-dentuman besar pengabar duka.
******
Adonan tepung putih yang Ia balurkan kepada berpotong-potong pisang
menjadi saksi gelombang kelam yang terpancar di matanya. Fokus pandangannya
tertuju pada satu titik, dimana seorang wanita paruh baya tampak tengah
bergulat dengan denting pisau dan sayur-mayur. Butiran peluh menghiasi
wajahnya, kuyu. Helaian rambutnya yang mulai memutih terlepas dari ikatan kusam
di belakang kepalanya. Lengan tuanya, dipenuhi gurat-gurat keletihan, tak henti
memotong aneka remah hijau yang ada dihadapannya. Kematian sang suami lima
tahun silam, merubahnya menjadi srikandi yang harus berjuang menghidupi keempat
anaknya, membusurkan panah keinginan dalam ranah takdir. Rani mendesah,
potongan duka yang didapatkannya sehari silam Ia simpan rapih, enggan ia
sajikan untuk melengkapi kepenatan Emaknya.
Kata-kata kepala sekolah kembali terngiang di benaknya, betapa ia harus
segera melunasi seluruh kekurangan biaya sekolah, dan betapa ia harus segera
memberitahukan Emaknya. Sesegera mungkin.
Persetan!! Emak sudah terlalu letih menanggung hidupku. Takan ku bebani
Pundaknya yang sudah terlalu tua. Akan kubuka mata dunia, lengan kecilku akan
mampu menanggung kebutukan takdirku sendiri, akan pendidikan.
Rani kembali menyatu bersama adonan tepung dan potongan-potongan
pisangnya disertai berbagai wacana yang memenuhi benaknya.
******
“ ko’ buru-buru, Ran?” sapaan Hanifah menghentikan langkahnya menyusuri
koridor itu.
“ eh iya nih, aku mau ke Bu Barno.” Jawab Rani.
“ ngapain?”
“ biasa, ngurusin kerang.” Jawab Rani singkat, langkahnya kembali
teratur, terdidik rapih untuk segera menuntaskan koridor sekolah.
Maaf kawan, masih ada selusur masa depan yang harus ku taklukan. Setiap
detik yang akan kuhabiskan menikmati masa remaja bersama kalian senilai dengn
sejengkal hidup yang akan kuberikan untuk Emak.
Butiran molekul yang pembentuk terik, gemuruh angin sore, serta kelamnya
angin malam selalu menemani perjuangan Rani. Laksana penjelajah ruang dan
waktu, Rani berpindah tempat dalam hitungan beberapa menit. Berkeliling membawa
jajanan tradisional yang di buat Emaknya, Mengurusi industri kerang rumahan
milik Bu Barno, menjajakan lembaran berita buram diantara celah-celah kendaraan
yang dihentikan lampu merah, semua Ia lakukan untuk menebus beban
pendidikannya. 3 bulan SPP.
*******
Jam pasir yang berisi butiran kesempatan mendapat hidup yang lebih baik
itu menguap, melewati lengkung terakhir. Habis sudah tengat waktu yang
diberikan kepala sekolahnya. Habis sudah kesempatannya mengumpulkan rupiah
sebanyak 250 ribu. Ia menengadah, gemerincing rupiah yang dihasilkan perasan
keringatnya hanya berjumlah 149 ribu rupiah. Jantungnya berderik, matanya
lurus, nanar menyaksikan hiruk pikuk alam yang enggan mengerti keterbatasannya.
Bulir-bulir bening mengalir membentuk kawah keputus-asaan, membasahi pipinya
yang tertutup debu. Tangisnya pecah, menandakan penyerahan terhadap takdir yang
akan menyambutnya esok hari.
Tuhan, saksikanlah keteguhanku menjaga kebahagiaan Emak. Biarlah kulepas
semua kenikmatan yang dijanjikan pendidikan, demi Emak. Akan kuhadapi
serpihan-serpihan takdirku yang lain, bermodalkan tekad dan senyum Emak. Aku
menyerah.
Tangis membawanya pulang, kembali pada Emak dan ketiga adiknya. Kembali
pada berakhirnya impian Emak punya anak sarjana, kembali kepada titik beku
antara Ia dan kebuasan pendidikan.
“ rani, kemana saja kamu?” tanya Emak.
Derit pintu mengiringi kepulangannya. Mencium tangan Emak dan
menyaksikan betapa sesuatu yang lain, sangat lain. Terhidang di antara
kursi-kursi reot yang mengisi ruang tamu sempit itu. Irma, Ratih dan Hanifah,
teman sekelas Rani, duduk di sudut ruangan.
“ ada apa ini ?” gumam Rani dalam hati.
“ duduk dulu, Nak,”
Emak membimbing Rani duduk di sampingnya. Rani sibuk membaca berbagai
ekspresi yang dipancarkan seluruh penghuni ruangan tersebut. apa yang terjadi?
“ Ran, kita kesini Cuma mau nyampein ini.” Hanifah, gadis manis
berkerudung putih menyerahkan sebuah amplop putih, yang terdengar bergemericik.
“ apa nih, Han?” tanya Rani, belum dapat menjamah apa yang sedang
terjadi.
“ itu amanat dari temen-temen sekelas, Ran,” jawab Irma “ buka dech.”
Lanjutnya.
Jemarinya bergetar ketika membuka simpul sederhana yang membelit benda
hitam menggelembung itu. Logikanya seakan menolak apa yang diekspektasikan
asanya.
“ apa ini !” pekik rani. Inderanya menyangsikan apa yang baru saja
ditangkap matanya, amplop putih itu berisi bulatan dan lembaran benda yang
diharapkannya. Rupiah.
“ ini uang kita, Ran. Tapi sekarang jadi uang kamu. Kamu ‘ngga pernah
cerita apa-apa ke kita, tapi kita tau semuanya, Ran.” Jawab Ratih, seraya
mendekati Rani yang duduk tidak jauh darinya.
“ iya, Ran. Hari senen kita UAS, uang ini pake’ buat bayar SPP ya..
sayang kalo kamu berenti di tengah jalan.” Tambah Hanifah.
“ hehehe.. sori nihh uangnya lecek, baru keluar dari celengan sihh,”
jawab Ratih.
Gelombang asa yang tiba-tiba menghantamnya, membuatnya tergagu
mengahdapi semua rentetan takdir ini. Bibirnya mengelu, menggumamkan sesuatu
yang Ia sendiri tak mampu menginterpretasikannya. Lelehan suka-duka kembali
membasahi pipinya yang masih berdebu, Ia menangis. Air matanya mengalir deras,
sangat deras dan menjadi semakin tak terkendali. Ia melahap semua menu lezat
yang dikaruniakan Tuhan, senyum Emak sebagai hidangan pembuka, serta senyum
sahabat-sahabat tercintanya sebagai hidangan penutup.
Tuhan, seporsi doaku telah kau jawab. Sepotong asaku telah kau beri
jalan. Terimakasih. Dan ternyata, masa sekolah bukan melulu tentang
keletihanku, ada makna lain. Makan lain yang coba Kau ajarkan melalui senyum
mereka.